PEOPLE POWER DI FILIPINA

People Power Revolution di Filipina

People Power Revolution di Filipina didahului oleh peristiwa-peristiwa penting diantaranya, terbubuhnya tokoh oposisi Benigno Aquino Sr, dan pemilihan umum yang penuh rekayasa untuk memenangkan Ferdinand Marcos.

People Power di Filipina
Qorazon Aquino


1. Terbunuhnya Tokoh Oposisi

Banyak pihak bersikap oposisi terhadap pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos, yang dinilai otoriter, korup dan hanya mementingkan keluarganya. Terhadap pihak-pihak yang beroposisi terhadap pemerintahannya, ia tidak ragu menumpas mereka. Banyak yang mati terbunuh, dan banyak pula yang hilang.

Salah seorang tokoh oposisi yang paling terkenal adalah Benigno Aquino Sr. la secara terang-terangan mengkritik pemerintahan Marcos. Benigno Aquino adalah mantan senator termuda, mantan wali kota termuda (22 tahun) dan mantan gubernur termuda (saat berusia 28 tahun). la juga pernah menduduki sejumlah abatan penting pada masa pemerintahan Ramon Magasasay. Tidak heran Presiden Marcos menganggap Benigno sebagai penantang utamanya.

Pada hari minggu 23 Agustus 1983, Benigno Aquino. Sr tiba di Manila dengan pesawat Tiongkok dari Taiwan. Di tangga pesawat, tiba-tiba ia roboh bersimbah darah dan meninggal seketika. Beberapa detik kemudian seseorang bernama Rolando Galman tewas pula ditembak aparat keamanan bandara. Orang itulah yang disebut sebagai pembunuh Benigno. Tapi siapa yang menyuruh Galman melakukan pembunuhan itu, hingga sekarang tidak pernah terungkap.


2. People Power Revolution

People Power Revolution mengacu pada revolusi sosial yang berlangsung damai, menuntut turunnya Presiden Marcos sebagai presiden. Massa turun ke jalan menuju Istana Malacanang (kediaman Presiden Filipina) yang pada waktu itu didiami Presiden Ferdinand Marcos.

Presiden Marcos saat itu sudah berkuasa selama 21 tahun yakni sejak tahun 1965. Demonstrasi damai dipimpin oleh Qorazon Aquino, janda mendiang Benigno Aquino. Karena demonstrasi terus berlangsung dan makin banyak yang mendukung. Termasuk Jenderal Fidel Ramos dan Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile, yang membelot. Melihat situasi itu Presiden Marcos mengumumkan pemilu kilat pada 7 Februari 1986. 

Dalam pemilu itu Corazon Aquino didukung penuh oleh rakyat Filipina. Karena mendapat dukungan besar itu Corazon Aquino bersedia mencalonkan diri sebagai calon presiden walaupun minim pengalaman politik.

Setelah pemilu, Komisi Pemilihan Umum (COMELEC) mengumumkan bahwa yang memenangkan pemilu adalah Ferdinand Marcos. Sebaliknya Gerakan Nasional untuk Pemilu Bebas (NAMFREL) sebuah organisasi independen yang juga melakukan perhitungan suara justru mengumumkan bahwa yang memenangkan pemilu itu adalah Qorazon Aquino. Pengumuman itu kembali disambut pendukungnya dengan melancarkan demonstrasi damai agar Qorazon Aquino segera dilantik sebagai presiden.

Pada tanggal 25 Februari 1986, Ferdinand Marcos dan Qorazon Aquino dilantik sebagai presiden Filipina di dua tempat berbeda. Sungguh situasi politik di Filipina telah berada di titik nadir. Melihat kondisi itu Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, yang sebelumnya mendukung Marcos, berbalik dan memberi dukungan kepada Qorazon Aquino.

Atas bantuan pemerintah Amerika pula, Ferdinand Marcos dan keluarganya meninggalkan Filipina, pergi ke Honolulu, Hawaii dan akhirnya meninggal di sana. Qorazon Aquino menjadi presiden wanita pertama di Asia, berkua selama 6 tahun 4 bulan, dan berhasil mengembalikan nilai-nilai demokrasi di negaranya.


(dari berbagai sumber)
LihatTutupKomentar