Ciri-Ciri Perlawanan Terhadap Penjajahan Bangsa Eropa Sampai Awal Abad XX
Pada saat bangsa-bangsa eropa
hendak menguasai Nusantara, mereka harus berhadapan dengan para pengusaha local
berupa Kerajaan-kerajaan ataupun kesultanan-kesultanan yang tersebar di wilayah
Nusantara. Para penguasa lokal ini telah memiliki sistem politik dan ekonomi
sendiri serta umumnya memiliki kedaulatan. Ketika kebijakan bangsa- bangsa
penjajah ini melukai rasa keadilan, mengoyak-ngoyak martabat dan harga diri, serta
melahirkan penderitaan bagi rakyat di kerajaan-kerajaan tersebut, lahirlah
perlawanan. Semangat perlawanan itu merupakan bentuk nasionalisme yang paling
awal, yang di kemudian hari menjadi fondasi bagi lahirnya kesadaran nasional.
Perlawanan-perlawanan yang
terjadi sebelum lahirnya kesadaran nasional memiliki ciri-ciri, antara lain
sebagai berikut.
1. Bersifat lokal
Perlawanan
dilakukan oleh tiap-tiap kerajaan yang merasa martabatnya dilecehkan,
kedaulatannya dilanggar, dan kepentingannya terancam. Dengan kata lain,
perlawanan itu bersifat lokal dan dipandang oleh kerajaan lain sebagai masalah
internal. Dengan demikian, kerajaan lain memilih tidak terlibat, kecuali jika
mereka diminta bantuannya untuk menjadi sekutu. Dalam tahap ini, kita belum
melihat adanya kesadaran nasional.
Perlawanan umumnya mengandalkan kepemimpinan tokoh-tokoh karismatik. Pemimpin yang dimaksud adalah seorang raja, bangsawan, pembesar kerajaan, pemuka agama, dan rakyat biasa yang berpengaruh atau yang dianggap memiliki kesaktian dan kekuatan yang melebihi manusia biasa. Oleh karena bertumpu pada karisma pemimpin, tatkala pemimpin itu tewas atau tertangkap, rakyat tercerai-berai dan perlawanan pun akhirnya berhenti. Hal itulah yang terjadi dalam Perang Makassar (Sultan Hasanuddin), Perang Padri (Tuanku Imam Bonjol), Perang Jawa (Pangeran Diponegoro), Perang Tapanuli (Sisingamangaraja XII), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
3. Perlawanan bersifat fisik atau mengandalkan
kekuatan senjata
Teknologi persenjataan modern belum dikenal masyarakat Nusantara ketika itu. Perlawanan yang mereka lakukan mengandalkan berbagai jenis senjata tradisional khas daerahnya, seperti rencong, kelewang, pedang, dan keris. Meskipun menggunakan senjata tradisional, Belanda kerap kewalahan. Bukan karena senjata tradisional itu lebih ampuh daripada senjata modern Belanda, melainkan karena semangat rakyat Nusantara untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda.
4. Mudah dipecah-belah
Divide et
impera yang artinya 'pecah belah dan kuasai adalah siasat jitu penjajah
kolonial Belanda menaklukkan perlawanan-perlawanan di Nusantara. Kaum penjajah
dianggap lawan oleh para penguasa daerah di Nusantara ketika mereka dianggap
mengancam kepentingannya. Sebaliknya, para penguasa daerah menganggap kaum
penjajah sebagai kawan ketika mereka dianggap dapat menjadi sekutu dalam
menaklukkan penguasa saingannya.