Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan Jawa Tengah
Sebagai negara yang baru merdeka, bangsa Indonesia harus menghadapi rongrongan, baik dari luar maupun dari dalam negeri, baik yang bersifat ideologis, petualangan/ kepentingan pribadi/golongan, maupun berasal dari golongan golongan yang takut kehilangan hak-haknya bila Belanda meninggalkan Indonesia.
Penangkapan S.M Kartosuwiryo |
Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
Salah satu gangguan keamanan yang dihadapi bangsa Indonesia berasal dari kelompok yang menamakan dirinya Darul Islam. Kelompok ini dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Tujuan gerakan ini ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dengan kekuatan senjata. Oleh karena itu, dibentuk juga pasukan bersenjata yang dinamakan Tentara Islam Indonesia.
Pemberontakan DI/TII berawal di Jawa Barat dan terus meluas sampai ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Para pemimpinnya, selain S.M. Kartosuwirjo (Jawa Barat), terdapat juga Amir Fatah (Jawa Tengah), Daud Beureueh (Aceh), Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan), dan Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan).
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dilatarbelakangi dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville pada 17 Januari 1948. Akibat Persetujuan Renville, pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas wilayah-wilayah yang dikuasainya sampai terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Beban RI terberat adalah pasukan gerilya RI harus ditarik ke luar batas garis demarkasi Van Mook dan mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. RI terpaksa menarik pasukannya dari Jawa Barat ke Jawa Tengah.
S.M. Kartosuwirjo, bersama pasukannya yang terdiri atas Hizbullah dan Sabilillah, menolak Persetujuan Renville. la menolak untuk membawa pasukannya ke Jawa Tengah dan tidak mengakui lagi keberadaan RI. Pada 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo akhirnya memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Sejak saat itu, mulailah Gerakan-gerakan pengacuan yang dilakukan oleh para anggota gerakan DI/TII di Jawa Barat. Tidak sedikit rakyat yang menjadi korban. Pasukan DI/TII secara paksa menarik sumbangan dari rakyat. Oleh karena pendapatan dari rakyat semakin berkurang, pasukan DI/TII mendatangi rumah-rumah penduduk dan mengambil harta benda secara paksa.
Dalam menghadapi serangan pasukan pemerintah, gerakan DI/TII menggunakan taktik gerilya. Untuk menghadapi gerakan DI/TII ini, pemerintah bekerja sama dengan rakyat setempat. Dijalankanlah taktik dan strategi baru yang disebut perang wilayah. Ibrahim Adjie, penanggung jawab strategi ini, memobilisasi rakyat setempat untuk membantu ABRI dengan taktik pagar betis, yaitu mengepung pasukan gerakan DI/TII dari segala penjuru.
Pada 1 April 1962, dilancarkan Operasi Brata Yudha, yaitu operasi penumpasan gerakan DI/TII Kartosuwirjo. Gerakan DI/TII semakin terdesak dan tidak punya kesempatan lagi untuk mengkonsolidasikan diri. Akibatnya, satu per satu komandan pasukan DI/TII menyerahkan diri.
Pada 4 Juni 1962, S.M. Kartosuwirjo beserta para pengikutnya tertangkap di daerah Majalaya. Setelah diadili pada Agustus 1962, S.M. Kartosuwirjo dijatuhi hukuman mati. la sempat mengajukan grasi kepada Presiden, tetapi ditolak. Pimpinan DI/TII ini akhirnya harus menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak dari keempat angkatan bersenjata RI.
Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah dan Kyai Sumolangu. Inti kekuatannya adalah pasukan Hizbullah yang dibentuk di Tegal pada tahun 1946.
Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Amir Fatah bekerja sama dengan TNI. la juga bertugas mengatur penggabungan laskar-laskar ke dalam TNI. Oleh karena itu, ia mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan para anggota laskar. Namun, ia kemudian berbalik arah.
Pada 23 Agustus 1949, Amir Fatah memproklamasikan berdirinya Darul Islam dan menyatakan bergabung dengan DI/TII S.M. Kartosuwiryo. Pasukannya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII) dengan sebutan Batalion Syarif Hidayat Widjaja Kusuma (SHWK).
Selain di daerah Tegal-Brebes, di daerah selatan (Kebumen), juga terdapat kekuatan gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Muhammad Mahfudh Abdurrahman atau dikenal dengan Kyai Sumolangu. Gerakan itu juga mengadakan kontak dengan DITII S.M. Kartosuwirjo dan bermaksud mendirikan Negara Islam Indonesia. Pada tahun 1954, gerakan ini dapat dilumpuhkan oleh TNI melalui Operasi Guntur.