DI/TII di Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan Selatan

DI/TII di Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan Selatan

 Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Kahar Muzakkar

Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Latar belakang pemberantakan ini berbeda dari yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. 

Pada perang kemerdekaan, Kahar Muzakkar adalah komandan Tentara RI Persiapan Resimen Hasanudin di Yogyakarta dengan pangkat letnan kolonel. TRI Persiapan Hassanudin ini beranggotakan para pemuda Sulawesi yang ada di Pulau Jawa. Dalam pertempuran di Surabaya, November 1945, mereka juga turut berjuang mempertahankan kota tersebut. Kemudian, pada awal tahun 1946, Kahar Muzakkar pergi ke Jawa Barat dan membentuk Batalion Kemajuan Indonesia. Anggota batalion juga mayoritas berasal dari para pemuda Sulawesi Selatan. 

Pada Maret 1946, ia dihubungi oleh Andi Matalatta dan Saleh Lahade di Bandung. Keduanya adalah tokoh pemuda pejuang dari Sulawesi. Mereka juga bermaksud mencari bantuan logistik berupa persenjataan dan obat-obatan. Ketiganya kemudian setuju untuk membentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Gagasan ini disampaikan kepada Panglima Besar Sudirman dan diterima sebagai Rencana Markas Besar Tentara (MBT). 

Pada 16 April 1946, dikeluarkan surat perintah kepada ketiga tokoh itu, yaitu Kahar Muzakkar, Andi Matalatta, dan M. Saleh Lahade, untuk mempersiapkan pembentukan pasukan tersebut dan setiba di Sulawesi Selatan mereka harus membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI).

Selama perang kemerdekaan berlangsung, Kahar Muzakkar bergerilya di daerah Sulawesi Selatan, la juga memimpin laskar laskar gerilya untuk bergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS)..

Setelah perang kemerdekaan selesai, pemerintah mengeluarkan kebijakan nasionalisasi laskar-laskar. Untuk itu, diadakan seleksi anggota laskar, tetapi tidak semuanya memenuhi syarat menjadi anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Kahar Muzakkar menuntut agar semua anggota KGSS dimasukkan sebagai anggota APRIS dalam Brigade Hasanuddin. Pemerintah sudah tentu tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut.

Pada Agustus 1951, Kahar Muzakkar melarikan diri ke hutan dengan membawa perlengkapan dan senjata yang baru diperoleh pasukannya. Kemudian, ia menerima tawaran dari S.M. Kartosuwirjo untuk memegang pimpinan TII di Sulawesi dan diberi surat keputusan pengangkatan sebagai panglima Divisi IV/ TII untuk daerah Sulawesi dan Indonesia Timur. 

Pada 7 Agustus 1953, Kahar Muzakkar menggabungkan diri dengan NII Kartosuwirjo dan sejak itu ia menamakan pasukannya sebagai Tentara Islam Indonesia (TII).

Menyikapi gerakan Kahar Muzakkar ini, pemerintah RI melancarkan operasi militer ke Sulawesi Selatan. Operasi penumpasan pemberontakan Kahar Muzakkar memakan waktu lebih dari 14 tahun. Masalah Sulawesi Selatan ini baru benar-benar selesai pada tahun 1965.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab lamanya menumpas gerakan ini antara lain adalah sebagai berikut: 

  1. Rasa kesukuan yang ditanamkan oleh gerombolan ini berakar di hati rakyat.
  2. Kahar Muzakkar mengenal sifat-sifat rakyat setempat. 
  3. Kahar Muzakkar dan gerombolannya dapat memanfaatkan lingkungan alam yang sudah sangat dikenalnya.

Pada 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati dalam sebuah kontak senjata dengan pasukan RI. Dengan tewasnya Kahar Muzakkar, akhirnya pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dapat ditumpas.


Pemberontakan DI/TII di Aceh

Daud Beureueh

Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh seorang ulama terkenal. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, terjadi pertentangan antara kaum alim ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), yang dipimpin oleh Daud Beureueh, berhadapan dengan para uleebalang atau kaum bangsawan sebagai kepala adat.

Agar pertentangan tersebut tidak memuncak menjadi perang saudara, pemerintah RI memberikan status daerah istimewa yang setingkat dengan propinsi kepada Aceh. Daud Beureueh diangkat sebagai gubernur Aceh. Namun, dalam rangka penyederhanaan administrasi negara, pada tahun 1950, Daerah Istimewa Aceh diturunkan statusnya menjadi karesidenan dalam Propinsi Sumatra Utara. Timbul kekecewaan yang mendalam di kalangan rakyat Aceh karena selama perang kemerdekaan tidak sedikit bantuan yang diberikan oleh rakyat Aceh.

Pada 21 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan Aceh menjadi bagian dari NII yang diproklamasikan oleh S.M. Kartosuwirjo dan memutuskan hubungan dengan Jakarta. Dalam gerakannya ini, Daud Beureueh juga mempengaruhi rakyat Aceh dengan propaganda yang memburuk-burukkan pemerintah RI di Jakarta. Oleh karena itu, pemerintah RI terpaksa melancarkan operasi militer untuk menumpas pemberontakan DI/TII di Aceh. Selain itu, TNI juga memberikan penerangan kepada rakyat Aceh agar mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Atas inisiatif Pangdam I Bukit Barisan, Kolonel Jasin, diadakanlah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh pada 17-28 Desember 1962. Dalam musyawarah ini, dibicarakan berbagai permasalahan yang dihadapi dan kesalahpahaman yang terjadi. Akhirnya, tercapai kesepakatan bersama dan pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik.


Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

 Ibnu Hadjar 

Pada akhir tahun 1950, Kesatuan Rakyat Jang Tertindas (KRJT) melakukan penyerangan ke pos-pos TNI di Kalimantan Selatan. KRJT dipimpin seorang mantan Letnan Dua TNI yang bernama Ibnu Hadjar alias Haderi alias Angli. 

Pemerintah RI masih memberi kesempatan anggota Gerakan ini untuk menyerahkan diri secara baik-baik. Ibnu Hadjar sendiri kemudian menyerahkan diri. Akan tetapi, setelah merasa kuat dan memperoleh peralatan perang, ia Kembali membuat kekacauan dengan bantuan Kahar Muzakar dan kartosuwiryo. 

Pada tahun 1954, Ibnu Hadjar diangkat sebagai panglima TII wilayah Kalimantan. Akhirnya, TNI menggunakan operasi militer untuk menumpas gerakan tersebut. Pada tahun 1959, Ibnu Hadjar ditangkap dan pada 22 Maret 1965, ia dijatuhi hukuman mati.  


(dari berbagai sumber)
LihatTutupKomentar