Organisasi Pergerakan Nasional Kebangsaan dan Politik

Organisasi Kebangsaan dan Politik

Pada perkembangannya, muncul berbagai organisasi politik yang secara terang-terangan berani menunjukkan tujuannya mencapai Indonesia merdeka. Berikut beberapa organisasi dan gerakan yang muncul pada periode ini.

Organisasi kebangsaan dan politik
Tiga serangkai


Indische Partij

Indische Partij berdiri tanggal 25 Desember 1912. Pendiri organisasi ini adalah Douwes Dekker (Danudirja Setyabudhi), Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Mereka kemudian dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Berbeda dengan dua organisasi pendahulunya yang bersikap hati-hati terhadap pemerintah kolonial Belanda, organisasi ini secara terang-terangan mengkritik pemerintah Belanda dan menuntut kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya Indische Partij ini kemudian berganti nama menjadi Partai Insulinde. Asasnya adalah membina semangat nasionalisme

Hindia dengan memperkuat cita-cita persatuan bangsa. Seluruh anggotanya ditekankan untuk menyebut dirinya Indiers yang berarti orang Indonesia. Indische Partij memang tidak berumur panjang, tetapi garis politiknya yang tegas dan revolusioner telah memberi pengaruh yang sangat besar pada kalangan nasionalis saat itu. Mereka menjadi semakin berani untuk membentuk organisasi yang dapat menggalang persatuan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.


Gerakan Pemuda

Gerakan Pemuda pada awalnya adalah sebuah gerakan yang dipelopori para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia sebagai sebuah gerakan solidaritas di kalangan pemuda Indonesia. Selain sebagai gerakan solidaritas, organisasi kepemudaaan juga memiliki ciri khas, yakni gerakan yang berekspresi, emansipatif, dan secara eksplisit bercita-cita memiliki negara yang maju dan merdeka. Dengan kata lain, gerakan pemuda juga merupakan gerakan kebangsaan yang terkait dengan perjuangan nasional menuju kemerdekaan dan kesatuan bangsa.

Organisasi-organisasi kepemudaan yang muncul pada saat itu antara lain Pekumpulan Pasundan, Molukas, Persatuan Minahasa, Sarekat Celebes, Sarekat Sumatra, dan masih banyak lainnya. Di Jawa, bertempat di gedung STOVIA, berdiri organisasi kepemudaan yang diberi nama Tri Koro Dharmo yang memiliki tiga tujuan mulia yaitu Sakti, Budi, dan Bhakti. Sakti berarti kekuasaan dan kecerdasan, Budi berarti bijaksana dan Bhakti berarti kasih sayang. Organisasi ini dipimpin oleh Satiman, Suradi, dan Soetomo. 

Organisasi Tri Koro Dharmo memang bersifat Jawa sentris sehingga menimbulkan keengganan bagi mereka yang bukan orang Jawa untuk bergabung ke dalam organisasi tersebut. Pada kongresnya yang pertama di Solo tahun 1918, nama Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java dan tujuan organisasi pun diubah menjadi Persatuan Jawa Raya. Organisasi ini memang pada awalnya bukan merupakan organisasi politik, tetapi ketika jumlah anggotanya semakin meluas, persatuan semakin erat dan muncul cita-cita Indonesia merdeka. Organisasi inipun berubah menjadi organisasi politik.

Organisasi kepemudaan lain yang mempunyai anggota cukup besar adalah persatuan pemuda pelajar yang berasal dari Sumatra, Jong Sumatranen Bond. Dari kalangan inilah kemudian muncul tokoh-tokoh nasional, seperti Moh. Hatta, Moh. Yamin, dan Bahder Johan. Pada kongres Jong Sumatranen Bond yang ketiga, Moh. Yamin melontarkan ide penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara dan bahasa persatuan. Yamin menekankan betapa pentingnya bahasa perantara dan bahasa persatuan di antara penduduk bumiputera yang mendiami kepulauan Nusantara ini.

Organisasi kepemudaan lain yang kemudian memperluas perjuangan para pemuda Indonesia adalah para pemuda Ambon. Tahun 1908, mereka membentuk Wilhelmina yang terdiri atas anggota militer Belanda yang berasal dari Ambon. Persatuan pelajar Ambon sendiri baru berdiri tahun 1918 dengan nama Jong Ambon. Antara tahun 1918-1919, lahir organisasi pemuda lainnnya seperti Jong Minahasa dan Jong Celebes, tetapi organisasi ini tidak berkembang dengan baik karena jumlah pelajar Sulawesi tidak begitu banyak di Jakarta. Namun demikian, patut dicatat kemunculan salah seorang tokoh nasional dari Sulawesi, yakni Sam Ratulangi.

Organisasi-organisasi kepemudaan ini memiliki puncak prestasi ketika manifestasi persatuan diwujudkan dalam Kongres Pemuda Il yang dilaksanakan tanggal 26-28 Oktober 1928. Kongres ini dihadiri oleh sekitar 750 orang yang mewakili 9 organisasi pemuda dan sejumlah tokoh politik seperti Sukarno, Sartono, dan Sunario. Kongres telah membawa semangat nasionalisme yang lebih konkret dengan mengucapkan sumpah setia, yang dikenal dengan "Sumpah Pemuda". Isi dari sumpah itu adalah "Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia" yang menjadi landasan bagi perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.

Dalam penutupan kongres ini, dinyanyikan lagu "Indonesia Raya" ciptaan W.R. Supratman. Simbol kebangsaan berupa bendera merah putih dikibarkan mengiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya, sehingga menimbulkan kesan yang mendalam bagi seluruh peserta yang hadir saat itu.


Gerakan Wanita

Kondisi perempuan Indonesia pada masa pertengahan abad ke-19 masih sangat tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Sekolah-sekolah hanya dibuka bagi kaum laki-laki, sementara perempuan hanya mendapat pendidikan di seputar rumah tangga dengan pengetahuan yang serba terbatas. Keadaan ini mengalami perubahan secara bertahap ketika RA Katini seorang putri Bupati dari Jepara menuangkan pemikiran-pemikirannya mengenai keadaan perempuan pada zamannya melalui surat-surat yang ditujukan kepada sahabatnya di negeri Belanda, Stella Zeehandellar dan Prof. E.K.Anton. Kemudian, oleh J.H Abendanon surat-surat Kartini ini diterbitkan dan diberi judul "Door Duirtenis Tot Lich" atau "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Kartini sebagai putri bangsawan berkesempatan untuk mengecap pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan itu membuka wawasannya untuk berpikir tentang kemajuan perempuan bangsanya. Ia mencita-citakan suatu masyarakat yang setara yaitu kaum perempuan bisa berpartisipasi dalam kemajuan bersama kaum laki-laki. Kartini memimpikan sebuah perubahan pada masyarakat Indonesia, khususnya perempuan. Keinginan Kartini adalah agar perempuan Indonesia bangkit dari keterbelakangannnya dan kebiasaan memingit perempuan dalam budaya Jawa dihapuskan. Memingit adalah adat yang melarang gadis-gadis yang telah akil baligh untuk tidak keluar rumah sampai saat menikah tiba. Pengertian emansipasi pada saat itu adalah keinginan untuk mendapatkan persamaaan hak dengan kaum laki-laki. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kedudukan dan martabat perempuan sejajar dengan laki-laki. Sebagai seorang ibu yang akan mendidik anak-anaknya di rumah, sudah selayaknya wanita juga mendapatkan pendidikan yang memadai dan memperoleh pengetahuan yang lebih luas dari luar lingkungan keluarga.

Pemikiran Kartini mendapat sambutan dari banyak kaum perempuan. Di mana-mana tumbuh perkumpulan-perkumpulan perempuan yang mengelola pendidikan untuk perempuan. Mereka jejak Kartini mendirikan sekolah-sekolah perempuan yang mengajarkan tidak saja keterampilan rumah tangga, tetapi juga pengetahuan lain. Perkumpulan perempuan yang ada saat itu antara lain Perkumpulan Keoetamaan Istri yang diasuh oleh Dewi Sartika dan Sekolah Kartini yang berdiri di Jakarta, Bogor, Semarang, Madiun. Pekalongan, Indramayu, Rembang, dan lain-lain yang semuanya didanai oleh Kartini Funds. 

Sebenarnya, sebelum perkumpulan perempuan ini muncul, telah ada gerakan perempuan yang menjadi bagian dari organisasi lokal kedaerahan a keagamaan, seperti Putri Mardika. Organisasi perempuan tertua yang berdiri tahun 1912 ini merupakan bagian dari organisasi Budi Utomo. Tahun 1914 juga berdiri oragnisasi perempuan Kerajinan Amai Setia. Organisasi ini berdiri di Kota Gadang, Bukittinggi yang diketuai oleh Siti Rohana Kudus.

Seperti halnya gerakan pemuda, gerakan perempuan yang semula hanya bergerak dalam bidang pendidikan bagi perempuan juga meluaskan kegiatannya dengan menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk memperkuat rasa kebangsaan. Perjuangan mereka menjadi lebih luas, seperti memperjuangkan. perbaikan kedudukan sosial perempuan yang menyangkut soal-soal perkawinan, keluarga, dan pendidikan. Kaum perempuan juga mulai menerbitkan surat kabar sendiri, seperti Poetri Hindia yang terbit tahun 1909 di Bandung Wanito Sworo yang terbit di Brebes tahun 1913, Soenting Melayu yang terbit di Bukittinggi tahun 1918, Istri Oetomo di Semarang, Soeara Perempoean di Padang, dan Perempoean Bergerak di Medan. Melalui surat kabar ini, kaum perempuan mengembangkan gagasannya dalam membangun rasa kebangsaan. Beberapa majalah perempuan bahkan melarang penggunaan bahasa Belanda dalam karangan-karangan yang dimuatnya. Hal ini mencerminkan sikap politik organisasi perempuan pada saat itu.

Dalam Konggres Perempuan Indonesia 1, perkumpulan-perkumpulan perempuan sepakat untuk mendirikan sebuah federasi yang menjadi wadah perjuangan untuk memajukan kaum perempuan Indonesia, Federasi ini kemudian diberi nama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang diketuai Ny. Sukanto. Tahun 1929, PPI berubah menjadi Perserikatan Perhimpunan Istr Indonesia (PPII). Berikutnya, lahir organisas perempuan lain yang bersifat lebih radikal dan nonkooperatif terhadap Belanda, misalnya perkumpulan Istri Sedar. Perkumpulan ini dengan lebih tegas bertujuan meningkatkan kesadaran kaum perempuan Indonesia. Perkumpulan ini menganjurkan para perempuan Indonesia untuk tidak terlalu terikat pada rumah tangga dan Pendidikan saja, tetapi, ikut serta dalam kegiatan politik. Perkumpulan ini juga turut aktif dalam berbagai aksi, misalnya menentang poligami. Konggres perempuan selanjutnya lebih menekankan kesadaran kaum perempuan untuk aktif membantu terbentuknya suatu bangsa baru sebagai bagian dari kesadaran nasionalnya.


(dari berbagai sumber)


LihatTutupKomentar