Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia
Masa pendudukan Jepang atas Indonesia membawa dampak yang sangat luas terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya bangsa Indonesia.
![]() |
Jugun Ianfu |
1.
Bidang Politik
Sejak berkuasa di Indonesia, Pemerintah Pendudukan Jepang kemudian membubarkan semua kegiatan kemasyarakatan, seperti organisasi politik, organisasi sosial, maupun organisasi keagamaan, dan menggantinya dengan organisasi-organisasi bentukan Jepang. Satu-satunya organisasi masyarakat yang tidak dibubarkan adalah Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang telah berdiri sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Organisasi ini mendapat simpati masyarakat sehingga berkembang dengan cepat. Namun, karena khawatir membahayakan kepentingannya, Jepang kemudian membubarkannya pada tahun 1943 dan menggantinya dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan K. H. Hasyim Asy'ari sebagai pimpinannya.
Jepang juga melakukan pengawasan yang ketat terhadap gerak-gerik para tokoh pergerakan, terutama yang bersikap nonkooperatif terhadap Jepang, melalui polisi rahasia mereka yang disebut dengan Kempetai. Polisi rahasia ini juga disebarkan ke tengah-tengah rakyat sehingga menimbulkan ketakutan. Jepang menginterogasi, menangkap, dan bahkan menghukum mati siapa saja yang dicurigai atau dituduh sebagai mata-mata atau anti-Jepang tanpa proses pengadilan.
Penghargaan terhadap hak-hak asasi
manusia, sebagaimana sangat ditekankan pada masa sekarang ini, nyaris tidak
berlaku pada zaman Jepang. Dalam rangka lebih menarik simpati bangsa Indonesia,
pemerintah Jepang melakukan hal-hal sebagai berikut.
a.
Mendorong
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan melarang penggunaan
bahasa Belanda.
b.
Membentuk
kerja sama dengan para tokoh nasionalis dengan membentuk Gerakan Tiga A, dengan
menunjuk Mr. Syamsuddin sebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah menarik
simpati rakyat Indonesia agar bersedia membantu perjuangan Jepang menghadapi
Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
c. Membentuk kembali organisasi masyarakat yang disebut dengan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan menunjuk empat serangkai, yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur sebagai pemimpinnya. Tujuan organisasi ini adalah memusatkan segala potensi rakyat Indonesia untuk membantu Jepang melawan tentara Sekutu. Akan tetapi, oleh para tokoh bangsa Indonesia, organisasi bentukan Jepang ini digunakan untuk membangun dan membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia yang sempat luntur karena tekanan yang kuat dari pemerintahan kolonal Hindia Belanda. Setelah melihat bahwa Putera ternyata lebih bermanfaat bagi kepentingan bangsa Indonesia daripada kepentingan Jepang, Jepang kemudian membubarkan Putera.
d. Membentuk Badan Pertimbangan Pusat yang disebut dengan Chuo Sangi In pada 1 Agustus 1943. Badan ini bertugas memberikan saran-saran dan tindakan yang perlu diambil oleh pemerintah Jepang serta menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait masalah-masalah politik. Badan ini dipimpin oleh Sukarno dengan 43 anggota yang semuanya berasal dari Indonesia.
e. Mendirikan Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) pada tahun 1944. Berbeda dengan organisasi yang lain, organisasi ini dipimpin oleh seorang gunseikan atau seorang kepala pemerintahan karena merupakan organisasi resmi pemerintah.
Jawa Hokokai mengalami nasib serupa
dengan organisasi yang terdahulu: tidak mendapat sambutan yang diinginkan,
terutama di luar Pulau Jawa.
2.
Bidang Ekonomi
Dampak pendudukan Jepang pada bidang ekonomi tidak berbeda dengan negara-negara imperialis lainnya. Dengan adanya semboyan "Negara Makmur, Militer Kuat", Jepang bermaksud menjadikan Indonesia sebagai salah satu basis bagi kepentingan militer sekaligus industri-industrinya. Untuk itu, Jepang mengendalikan sepenuhnya seluruh aktivitas perekonomian. Terjadi eksploitasi segala sumber daya, seperti sandang, pangan, logam, dan minyak demi kepentingan perang. Hal itu tampak dalam hal-hal berikut ini.
Menyita aset-aset ekonomi yang penting. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan (teh, kopi, karet, tebu), pabrik, bank, dan perusahaan-perusahaan yang penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkalai karena kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Hal itu menjadi penyebab terjadinya krisis pangan, kemiskinan, serta kelaparan di kalangan rakyat.
Melakukan pengawasan yang ketat dalam bidang ekonomi. Jepang juga menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya harga barang.
Kebijakan self-sufficiency. Agar tidak memberi beban kepada pemerintah, Jepang menerapkan kebijakan self-sufficiency. Maksud dari kebijakan ini adalah wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya harus dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Dampak negatif kebijakan ini adalah terputusnya hubungan ekonomi antardaerah.
Setoran wajib, romusa, merosotnya
produksi pangan, dan kelaparan.
Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak sehingga
tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya,
pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara
besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta
instansi resmi pemerintah. Jepang mengharuskan rakyat untuk menyerahkan bahan
makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa, dan hanya 40% menjadi hak
pemiliknya.
Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah hampir di setiap desa di Pulau Jawa. Di Wonosobo (Jawa Tengah), misalnya, angka kematian 53,7%, dan Purworejo (Jawa Tengah) mencapai 224,7%. Kondisi tersebut membuat sebagian rakyat terpaksa makan makanan yang tidak biasa, seperti keladi gatal, bekicot, dan umbi-umbian hutan.
Hal itu diperparah dengan kewajiban
kerja paksa (romusa) bagi banyak tenaga kerja usia produktif, yang
mengakibatkan produksi pangan, terutama beras merosot drastis. Kemiskinan pun
merebak di mana-mana. Penyakit akibat kekurangan makanan, seperti beri-beri dan
busung lapar merajalela. Selain pangan, banyak warga juga mengalami kekurangan
sandang. Selain itu, dicetaknya uang secara besar-besaran membuat inflasi
menjadi tak terkendali. Sendi-sendi kehidupan rakyat benar-benar lumpuh.
Untuk mengatasi situasi ini, Jepang mendirikan kumiyai, yaitu koperasi yang bertujuan untuk kepentingan bersama, dan juga memperkenalkan suatu sistem baru bagi pertanian yang disebut line system, yaitu sistem pengaturan bercocok tanam secara efisien, yang bertujuan meningkatkan produksi pangan. Namun, nyatanya perekonomian rakyat Indonesia tetap buruk.
3.
Bidang Sosial
Romusa. Selain perekonomian rakyat habis digunakan untuk kepentingan perang, pengerahan tenaga kerja melalui romusa semakin menyebabkan sawah-sawah dan tanah-tanah pertanian kehilangan tenaga potensialnya. Mereka dimobilisasi tidak saja untuk bekerja membangun sarana-sarana perang yang ada di Indonesia, tetapi juga dikerjapaksakan di luar negeri, seperti di Burma, Muangthai (Thailand), Vietnam, dan Malaysia. Perlakuan terhadap para romusa sangat buruk. Banyak dari mereka tidak kembali lagi ke kampung halamannya karena meninggal dunia.
Jugun ianfu. Selain pengerahan romusa, pemerintah Jepang juga merekrut para perempuan dari berbagai negara Asia, seperti Indonesia, Korea, dan Tiongkok untuk dijadikan perempuan penghibur bagi tentara Jepang atau jugun ianfu. Diperkirakan, selama berkecamuknya Perang Pasifik, Jepang telah memaksa sekitar 200.000 perempuan Asia menjadi jugun lanfu. Perempuan-perempuan ini awalnya dijanjikan pekerjaan sebagai guru, perawat, atau disekolahkan ke luar negeri, namun kenyataannya dipekerjakan sebagai perempuan penghibur.
Bidang
Kebudayaan
Sebagai negara fasis, Jepang
mendidik warga negaranya dengan keras dan disiplin tinggi. Jepang sangat
menghormati kaisarnya, yang mereka yakini sebagai keturunan Dewa Matahari.
Itulah latar belakang kebiasaan mereka memberi hormat ke arah matahari terbit
dengan cara membungkukkan punggung dalam-dalam, yang disebut dengan seikerei,
sebagai simbol penghormatan terhadap kaisar. Pemaksaan kebiasaan seperti ini di
negara-negara lain, termasuk Indonesia, menjadi salah satu alasan pecahnya
pemberontakan di kalangan pesantren di Tasikmalaya (Jawa Barat) pada tahun
1944. Pengaruh Jepang di bidang kebudayaan lebih banyak dalam lagu-lagu, film,
drama yang sering kali dipakai untuk propaganda. Banyak lagu Indonesia diangkat
dari lagu Jepang yang populer pada zaman Jepang.
Pemerintah Jepang juga mendirikan sebuah pusat kebudayaan yang diberi nama Keimin Bunkei Shidoso. Pusat kebudayaan tersebut menjadi wadah bagi perkembangan kesenian bangsa Indonesia. Akan tetapi, lembaga ini juga digunakan oleh pemerintah Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan kegiatan para seniman agar karya-karyanya tidak menyimpang dari kepentingan Jepang. Sementara itu, buku-buku dan karya-karya sastra yang sejalan dengan propaganda dibiarkan berkembang, seperti Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar, Palawija karangan Karim Halim, dan Angin Fuji karangan Usmar Ismail. Sebaliknya, karya-karya sastra yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Jepang dilarang beredar dan penulisnya dimasukkan ke dalam penjara.
Contoh karya sastra yang diberedel Jepang adalah Siap Sedia karangan Chairil Anwar. Pembatasan yang sama juga berlaku untuk pers. Pada zaman Jepang, tidak ada pers yang independen; semuanya berada di bawah pengawasan Jepang.
4. Pendidikan.
Pada masa pendudukan Jepang, kondisi Pendidikan di tanah air lebih buruk dibandingkan masa pemerintahan Hindia-Belanda. Jumlah sekolah menurun drastis. Beberapa kegiatan pendidikan di perguruan tinggi sempat terhenti selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1943, kegiatan pendidikan di perguruan tinggi dibuka kembali, Seperti perguruan tinggi ilmu kedokteran (Ika Daigaku) dan perguruan tinggi teknik (Kogyo Daigaku), keduanya terletak di Bandung. Sistem pembelajaran dan kurikulum sekolah ditujukan bagi kepentingan perang. Para pelajar diberikan slogan Hakko Ichiu (yang secara harfiah berarti Delapan Penjuru Dunia di Bawah Satu Atap).
Hakko Ichiu merupakan slogan
persaudaraan universal yang digunakan Jepang untuk menciptakan Kawasan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II.
Di berbagai daerah di Jepang, Hakko
Ichiu dipakai sebagai salah satu slogan untuk mewujudkan tatanan baru Asia
Timur. Dalam kamus besar bahasa Jepang zaman sekarang, Hakko Ichiu agresi
Jepang ke luar negeri selama Perang Dunia II. dijelaskan sebagai "slogan"
yang dipakai sebagai pembenaran
Agar sampai ke para pelajar, Jepang terlebih dahulu mengindoktrinasi para calon guru dengan doktrin atau slogan itu. Para peserta pelatihan diambil dari tiap-tiap daerah. Krisis dalam bidang pendidikan diperparah oleh kenyataan bahwa banyak guru dipekerjakan sebagai pejabat pada pemerintahan Jepang, yang mengakibatkan kemunduran tajam dalam hal mutu pendidikan.
Bahasa dan stratifikasi sosial. Meski demikian, setidaknya ada dua hal positif Jepang dalam bidang sosial-budaya. Pertama, dalam pendidikan, Jepang mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia juga dijadikan mata pelajaran wajib. Bahasa Indonesia pun mengalami perkembangan atau kemajuan yang pesat. Kedua, sistem stratifikasi sosial menempatkan golongan bumiputra di atas golongan Eropa dan golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Alasannya, Jepang ingin mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur Raya.
5. Bidang Militer
Di bidang militer, dalam usaha
untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang membentuk beberapa organisasi.
Organisasi itu ada yang bersifat semimiliter, seperti barisan pembantu militer
Jepang (Seinendan) dan barisan pembantu polisi (Keibodan), serta bersifat penuh
seperti tantara pembantu (Heiho) dan PETA. Mereka diberi latihan-latihan
militer, baik untuk mempertahankan diri maupun untuk penyerangan.
Jepang ini tergolong gencar
melakukan pelatihan militer pada masyarakat Indonesia. Gak heran sih,
soalnya kannn awalnya Jepang emang butuh bala bantuan dari wilayah Asia yang
mereka duduki untuk berkontribusi dalam Perang Pasifik.
Nah, pelatihan militer ini
dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk para pemuda. Dampak
negatifnya, si para pemuda ini emang jadi gak efektif bersekolah. Tapi,
dampak positifnya, para pemuda ini jadi punya mental yang kuat dan berani dalam
bertempur.
Secara tidak langsung, muncul
keberanian dan semangat nasionalisme pun menguat. Hal ini juga menjadi bekal
dalam menghadapi Sekutu dan Belanda setelah Jepang hengkang dari Indonesia.
Pelatihan militer ini berdampak
pada pemberontakan prajurit PETA di Blitar yang dipimpin oleh Kolonel Supriyadi
karena kesal terhadap kesewenang-wenangan Jepang terhadap prajurit PETA dan
kegiatan romusha.
Di masa yang akan datang,
bermunculan tokoh-tokoh militer yang memainkan peran strategis dan merupakan
alumni PETA. Misalnya seperti:
- Jenderal Besar Sudirman yang merupakan Panglima ABRI pertama,
- Mantan Presiden Suharto,
- Jenderal (Anumerta) Achmad Yani yang merupakan mantan Panglima Angkatan Darat,
- Jenderal TNI Basuki Rahmat (mantan Mendagri), dan lain-lain