A. Dampak Kolonialisme dan Imperialisme terhadap Bangsa Indonesia
Kolonialisme dan Imperialisme
Kolonialisme berasal dari kata colonus yang berarti 'petani. Istilah ini diberikan kepada para petani Yunani yang pindah dari negerinya yang tandus ke daerah lain yang lebih subur. Para colonus tetap menjalin hubungan dengan negeri asalnya, tetapi oleh negeri asalnya (induk) dianggap sebagai bagian dari negara induk dan harus tunduk pada negara asal. Dari sinilah muncul penjajahan. Biasanya daerah koloni terletak di seberang lautan dan kemudian dijadikan bagian dari wilayah mereka.
Ada beberapa bentuk kolonialisasi, yaitu sebagai berikut :
- Koloni penduduk adalah setelah menguasai suatu wilayah, maka negara penguasa akan menguasai wilayah tersebut dengan mengusir seluruh penduduk aslinya.
- Koloni eksploitasi adalah upaya penguasaan suatu wilayah untuk menguras semua kekayaan alam yang ada, dan memobilisasi penduduknya untuk berbagai kepentingan, seperti kerja paksa dan menjadi tentara. Contohnya, eksplotasi bangsa Belanda terhadap Indonesia.
- Koloni deportasi adalah upaya menguasai suatu wilayah sebagai tempat pembuangan para tahanan yang mendapat hukuman berat.
Imperialisme berasal dari kara imperare, yang berarti 'menguasai'. Orang yang menguasai disebut imperator, yang berarti raja atau penguasa. Imperium adalah daerah yang dikuasai imperator. Imperator menguasai bangsa yang mendiami wilayah imperium dengan alasan agar mereka merasa lebih aman atau sejahtera. Jadi, imperialisme adalah suatu sistem penjajahan langsung dari suatu negara terhadap negara lain. Penjajahan dilakukan dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan atau dengan menanamkan pengaruh dalam semua bidang kehidupan daerah yang dijajah. Walaupun berasal dari kata dan pengertian yang berbeda, dalam praktiknya, kolonialisme dan imperialisme berarti satu, yaitu penjajahan oleh bangsa satu terhadap bangsa lain. Kolonialisme lebih diartikan sebagai proses pembentukan atau penguasaan wilayah, sedangkan imperialisme lebih diartikan sebagai praktik penjajahannya.
Terdapat beberapa bentuk imperialisme, yaitu sebagai berikut.
- Imperialisme kuno terjadi sebelum peristiwa Revolusi Industri. Imperialisme kuno menggunakan semboyan 3-G (gold, glory, gospel) sebagai tujuan menguasai suatu wilayah.
- Imperialisme modern terjadi setelah peristiwa Revolusi Industri. Tujuan imperialisme modern tidak lagi sekadar 3-G, tetapi lebih pada upaya pengembangan kegiatan perekonomian. Negara pelopornya adalah Inggris. Dengan meningkatnya penemuan-penemuan baru, seperti mesin uap, kegiatan industri berkembang pesat. Pabrik-pabrik didirikan di mana-mana. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan mentah dan hasil produksi. Oleh karena itu, negara- negara Barat berlomba-lomba mencari daerah kekuasaan itu.
Kolonialisme dan imperialisme Eropa memiliki dampak yang terhadap bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan.
Berikut beberapa dampak kolonialisme dan imperialisme terhadap bangsa Indonesia.
1. Ekonomi
Pada 1511, bangsa Portugis berhasil menguasai Malaka dengan tujuan memonopoli perdagangan rempah-rempah Asia, termasuk Nusantara. Namun, bangsa Portugis ternyata tidak dapat memonopoli sepenuhnya perdagangan. Hal ini terutama karena perlawanan yang dilakukan oleh Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh.
Selanjutnya, pada 1595, sebuah perusahaan Belanda yang bernama Compagnie Van Verre membiayai ekspedisi Cornelis de Houtman ke Nusantara. Pada 22 Juni 1595, setelah berlayar selama empat belas bulan, mereka mendarat di Pelabuhan Banten. Meski gagal membina hubungan baik dengan penguasa Banten, ekspedisi perdana de Houtman berjasa membuka rute ke Indonesia bagi Belanda.
Setelah itu, Nusantara diwarnai oleh upaya bangsa Belanda Yang dimotori oleh VOC memonopoli perdagangan rempah-rempah. VOC kemudian dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Dengan monopoli, harga dan jumlah komoditas dagang, seperti rempah-rempah, ditentukan. VOC (Belanda). Untuk mendukung kebijakan monopolinya, VOC menerapkan kebijakan ekstirpasi, yaitu menebang kelebihan jumlah tanaman agar produksinya tidak berlebihan sehingga harga jual tetap dapat dipertahankan. Selain itu, VOC juga mengeluarkan kebijakan pelayaran hongi, yaitu melakukan pelayaran dengan kapal bersenjata lengkap dengan maksud mengintimidasi para pedagang agar menjual dagangannya kepada VOC. Kebijakan ekstirpasi dan pelayaran hongi merugikan pedagang pribumi, terutama di Maluku.
Selanjutnya, pada 31 Desember 1799, VOC secara resmi dibubarkan karena salah satunya akibat korupsi di semua tingkatan birokrasi, dari pegawainya rendah sampai pejabat tinggi VOC. Pemerintahan VOC di Nusantara diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada saat itu, Belanda dikuasai oleh Prancis di bawah kekuasaan Republik Bataaf (1795-1806) yang dipimpin oleh Louis Napoleon saudara dari Napoleon Bonaparte. Kondisi politik di
2. Politik
Campur tangan (intervensi) terhadap masalah internal kerajaan merupakan bagian dari upaya melancarkan monopoli perdagangan. Campur tangan umumnya terjadi ketika terjadi perebutan takhta di dalam istana. Dalam hal itu, VOC akan berupaya memperuncing persoalan atau melakukan politik pecah belah (divide et impera) dengan memihak salah satu kubu yang bersedia bekerja sama dengan VOC, baik berupa mengakui kebijakan monopoli VOC, mengizinkan VOC menguasai sebagian wilayah kerajaan, maupun dalam kasus yang ekstrem menyerahkan kedaulatan kepada VOC sebagaimana pernah terjadi di Surakarta pada tahun 1749.
Raja pilihan VOC itu biasanya berhasil karena mendapat dukungan militer dan finansial VOC yang besar. Selain itu, campur tangan VOC juga tampak dalam hal pengangkatan pejabat-pejabat keraton, seperti patih, ataupun penentuan kebijakan ekonomi-politik kerajaan. Meskipun demikian, bentuk intervensi yang paling sering pada masa VOC adalah dalam kasus perebutan takhta.
Selanjutnya, pada masa pemerintah Hindia Belanda, Belanda bertindak sewenang-wenang terhadap bangsawan dan raja-raja pribumi. Belanda kerap memperlakukan para bangsawan dan raja pribumi sebagai bawahan. Adat-istiadat, kebiasaan, aturan, serta hak istimewa mereka tidak dihormati oleh Belanda.
3. Sosial-Budaya
Pada masa kolonial, terdapat penggolongan kelas sosial penduduk Hindia Belanda berdasarkan ras. Penggolongan ras tersebut adalah sebagai berikut.
• Golongan Eropa,
• Golongan Indo (keturunan campuran pribumi dan Eropa),
• Golongan keturunan Timur Asing (Tionghoa, India, dan Arab),
• Golongan pribumi (Indonesia) atau inlander.
Pembagian penduduk berdasarkan golongan ini memiliki konsekuensi baik dalam bidang sosial, hukum, ekonomi, maupun politik. Golongan Eropa, mendapat perlakuan istimewa dalam bidang sosial, hukum, ekonomi, dan politik. Dalam bidang pendidikan, misalnya, mereka ditempatkan di sekolah yang dikhususkan untuk mereka dan tidak berbaur dengan penduduk pribumi ataupun golongan Timur Asing. Selain itu, golongan ini mendapat banyak kemudahan dalam berbagai kegiatan ekonomi. Mereka ibarat raja dalam model feodal-tradisional (kerajaan). Sementara itu, golongan Timur Asing diberi perlakuan khusus oleh Belanda dalam bentuk keleluasaan untuk bergerak di bidang perdagangan. Sebagai saudagar, mereka menguasai perdagangan eceran.
Golongan pribumi masih dibedakan lagi berdasarkan aspek keturunan, pekerjaan, dan pendidikan. Golongan bangsawan atau ningrat (aristokrat) merupakan golongan tertinggi. Termasuk dalam golongan ini adalah raja/sultan dan keturunannya, para pejabat kerajaan, serta pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial. Di bawah mereka adalah rakyat biasa.
Rakyat biasa adalah golongan yang paling menderita dalam sistem sosial ini. Mereka dibebankan banyak kewajiban, termasuk pajak, tetapi nasibnya tidak diperhatikan pemerintah kolonial. Selain itu, kuli untuk perkebunan-perkebunan swasta asing dan tenaga untuk kerja paksa berasal dari golongan ini. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman W. Daendels, ia mengerahkan secara paksa orang-orang dari golongan ini untuk membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan.
Pengaruh kehidupan Eropa mulai merusak nilai-nilai kehidupan tradisional. Tradisi-tradisi dan nilai-nilai kehidupan penduduk pribumi perlahan-lahan digantikan dengan tradisi para penguasa kolonial. Tradisi dan nilai-nilai bangsa Eropa banyak mendapat penentangan, terutama dari kalangan pemimpin agama. Tradisi dan nilai-nilai bangsa Eropa dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Pandangan keagamaan dan diskriminasi ras menjadi faktor pendorong dilakukannya perlawanan terhadap pemerintah kolonial oleh penduduk pribumi.
4. Pendidikan
Sistem pendidikan Barat di Indonesia digarap Belanda sejak abad XVIII. Pada akhir abad XIX, sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia semakin banyak. Sistem pendidikan diselenggarakan oleh berbagai elemen, ada yang diselenggarakan oleh kelompok keagamaan dan ada pula yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri. Sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh kelompok keagamaan lebih menitikberatkan pada pendidikan agama, seperti agama Islam; pendidikannya diselenggarakan melalui pesantren. Sementara itu, pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda menekankan pada sistem pendidikan Barat dengan acuan kurikulum. Sistem persekolahan Belanda awalnya bersifat segregatif: ada sekolah khusus Belanda dan Eropa, seperti Europesche Lagere School (ELS), ada sekolah khusus untuk orang-orang keturunan Tionghoa seperti Hollandsche Chineesche School, dan ada sekolah khusus untuk pribumi, seperti Indlandsche School.
Perhatian pada pendidikan semakin tegas tatkala politik etis diberlakukan pada tahun 1911 melalui tokoh liberalnya, Th. van Deventer. Sebelum politik etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan Belanda bagi orang Indonesia sekadar untuk menyediakan tenaga ahli yang murah untuk mengerjakan