Pertempuran Surabaya
Bung Tomo |
Tentara Sekutu mendarat
di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigjen Aubertin Walter
Sothern (A.W.S.) Mallaby yang berkebangsaan Inggris. Kedatangan mereka ketika
itu disambut oleh Gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Soeryo.
Dalam pertemuan dengan
Gubernur Soeryo, disepakati bahwa Inggris dipersilakan memasuki kota dan
melepaskan para tawanan Jepang. Namun, kesepakatan ini dilanggar pasukan
Inggris dengan menduduki kantor pos besar, pangkalan angkatan laut di Tanjung
Perak, gedung Bank Inferio, serta lokasi-lokasi penting lainnya. Bahkan, pada
27 Oktober 1945, pasukan Inggris menyebarkan pamflet menggunakan pesawat
tempur. Pamflet tersebut berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur
menyerahkan senjata yang telah mereka rampas dari tentara Jepang. Melihat hal
ini, gubernur sebagai kepala daerah memerintahkan agar para pemuda dan rakyat
Surabaya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Kontak senjata pertama
dengan Inggris terjadi siang hari pada 27 Oktober 1945. Pertempuran kemudian
meluas dengan cepat dan berubah menjadi perlawanan merebut Kembali lokasi-lokasi
penting yang telah diduduki oleh tentara Sekutu. Selanjutnya, pada 28 Oktober
1945, lokasi-lokasi penting tersebut berhasil direbut kembali oleh para pemuda.
Terdesak oleh serangan
rakyat Surabaya, A.W.S. Mallaby meminta bantuan kepada Mayjen D. C. Hawthorn,
komandan tentara Inggris di Jawa. Hawthorn lalu menghubungi Presiden Sukarno,
meminta bantuannya untuk menyelesaikan pergolakan. Keesokan harinya pada 29
Oktober 1945, Sukarno didampingi Wakil Presiden Moh. Hatta, Menteri Penerangan
Amir Sjarifuddin, dan Mayjen D. C. Hawthorn tiba di Surabaya. Di Surabaya,
dengan sebuah jip pinjaman Inggris, Sukarno berkeliling menyerukan gencatan
senjata sambil menunggu hasil perundingan antara Indonesia dan Sekutu
(Inggris).
Meskipun gencatan senjata
disepakati, aksi tembak- menembak secara sporadis masih terus terjadi di
beberapa tempat. Pada 30 Oktober 1945, Surabaya, mobil Buick yang ditumpangi
A.W. S. Mallaby menjadi sasaran tembakan saat hendak melintasi Jembatan Merah.
Terjadi baku tembak di tempat itu, yang berakhir dengan tewasnya Mallaby.
Sementara itu, mobil Mallaby hangus terbakar akibat ledakan sebuah granat.
Kematian Mallaby menjadi
dalih bagi Inggris untuk menggempur rakyat Surabaya dan menuntut "menyerah
tanpa syarat". Pada 7 November 1945, pemimpin tentara Inggris yang baru,
Mayor Jenderal E. C. Marsergh menulis surat kepada Gubernur Soeryo. Surat itu
pada intinya berisi kecaman atas kematian Mallaby serta tudingan bahwa sang
Gubernur tidak mampu mengendalikan rakyatnya sendiri. Soeryo membalas surat Marsergh
pada 9 November, yang pada intinya membantah semua tuduhannya.
Marsergh kemudian membuat
surat balasan dengan nada yang tegas dan keras. Isinya antara lain Inggris
bertekad menuntut balas atas kematian Mallaby. Bagian lain surat bahkan berisi
perintah kepada seluruh pemimpin Indonesia, kepala pemuda, kepala polisi,
kepala pemerintah agar melapor pada waktu dan tempat yang telah ditentukan
dengan meletakkan tangan mereka di atas kepala. Selanjutnya, mereka harus
menandatangani dokumen berisi penyerahan tanpa syarat dan para pemuda yang
bersenjata harus menyerahkan senjatanya sambil membawa bendera putih sebagai
tanda menyerah. Batas waktu yang ditentukan paling lambat pukul 06.00 tanggal
10 November 1945. Jika ultimatum ini tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan
seluruh kekuatan angkatan perangnya untuk menghancurkan Surabaya.
Tepat pukul 22.00 tanggal
09 November 1945, setelah merundingkannya dengan pemerintah pusat, Gubernur
Soeryo melalui siaran radio menolak ultimatum Inggris tersebut. Maka, setelah
batas waktu ultimatum habis, pertempuran tidak bisa dielakkan. Kontak senjata
pertama terjadi di Tanjung Perak. Di tempat ini, pasukan Inggris berhasil
mengendalikan perlawanan rakyat Surabaya. Banyak korban berjatuhan, tetapi
rakyat Surabaya bersama-sama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terus melakukan
perlawanan. Mereka memilih "merdeka" atau "mati".
Inggris mulai menggempur
Surabaya melalui darat, laut, dan udara. Bung Tomo dengan gigih dan berapi-api
membakar semangat para pemuda dan masyarakat Surabaya dengan pidato-pidatonya
di radio. Sementara itu, Sukarno berpidato dengan menggunakan bahasa Inggris,
direkam lalu disiarkan ke seluruh dunia. Melalui pidato itu, ia melancarkan
protes ke PBB. Sukarno juga mendesak Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman
untuk turun tangan menghentikan aksi militer Inggris. Namun, protes Sukarno
tidak dihiraukan Amerika Serikat dan PBB. Kepada para pejuang dan rakyat
Indonesia, Sukarno menyerukan: "Tetap Merdeka! Kedaulatan Negara dan
Bangsa Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 akan kami
pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab bersama, bersatu,
ikhlas berkorban dengan tekad 'Merdeka atau Mati!' merdeka tetap
merdeka!".
Peristiwa 10 November ini
juga tidak terlepas dari peran kaum ulama. Ulama besar, seperti KH Hasyim
Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, serta kiai-kiai pesantren lainnya, misalnya,
mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi
perlawanan. Setelah tiga minggu, TKR, para pemuda, dan rakyat Surabaya berhasil
mempertahankan Kota Surabaya dari pendudukan Inggris. Kota Surabaya memang
hancur, tetapi pertempuran ini menunjukkan suatu semangat serta sikap pantang
mundur para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang
perjuangan rakyat Surabaya, di kota ini kemudian dibangun Tugu Pahlawan dan
setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
dari berbagai sumber
baca juga : Pertempuran Ambarawa, Pertempuran Medan Area, Pertempuran bandung Lautan Api