AKAR-AKAR DEMOKRASI DI INDONESIA
Pengertian Demokrasi
Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, demos artinya rakyat dan cratein atau cratos bermakna Pemerintahan,kekuasaan atau kedaulatan. Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam sistem demokrasi kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Rakyat diwakili oleh wakil wakil rakyat sehingga dapat disebut sebagai demokrasi perwakilan.
Sejarah Demokrasi
Demokratis pertama kali muncul di Yunani Kuno. Sistem demokrasi yang terdapat di Negara kota masa Yunani Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung dimana hak untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga berdasarkan prosedur mayoritas. Berdasarkan UUD 1945, sistem yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi. Perkembangan demokrasi tidak terlepas dari perjuangan bangsa. Jauh sebelum kemerdekaan kehidupan yang demokratis telah dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari, hal ini terlihat dari munculnya berbagai perkumpulan dan perserikatan pada masa pergerakan.
Pada masa kolonial Belanda, praktik demokrasi di Indonesia dalam bidang pemerintahan baru diterapkan secara terbatas pada tahun 1918 dengan dibentuknya Volksraad. Wewenang dalam Volksraad sangat terbatas. Keanggotaan Volksraad pun didasarkan pada penunjukkan Gubernur Jenderal bukan atas pilihan rakyat. Keanggotaan Volksraad banyak banyak didominasi oleh wakil-wakil dari bangsa Eropa walaupun penduduk pribumi juga dilibatkan. Volksraad sengaja didirikan, bukan sebagai parlemen perwakilan rakyat Indonesia melainkan hanya sebagai penasihat Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Akan tetapi, beberapa aktivis pergerakan nasional memanfaatkan Volksraad sebagai wadah perjuangan untuk membela kepentingan rakyat Indonesia dan perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia. Bahkan salah satu organisasi pergerakan nasional yang berhaluan kooperatif membentuk satu kesatuan aksi di volksraad yang disebut Fraksi Nasional yang didirikan tanggal 27 Januari 1930 berdasarkan ide Muhammad Husni Thamrin ketua perkumpulam kaum Betawi.
Pada 15 Juli 1936 diajukan sebuah petisi yang dinamakan petisi Soetardjo yang isinya mengusulkan kemerdekaan bagi Indonesia, namun ditolak oleh pemerintah Belanda. Dalam Volksraad praktik demokrasi yang dikembangkan oleh Soetardjo, M.H. Tamrin, dkk mampu mendorong perkembangan demokrasi di Indonesia menjelang runtuhnya Hindia Belanda. Beralihnya kekuasaan dari Belanda ke Jepang menyebabkan bangsa Indonesia sulit mengembangkan pemikiran maupun praktik demokrasi
Salah satu tonggak demokrasi di Indonesia muncul pada kongres pemuda kedua yang membuahkan hasil kesepakatan seluruh komponen pemuda Indonesia yang menyatakan untuk bersatu yang dikenal Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda adalah salah satu kejadian penting dalam pergerakan untuk kemerdekaan Indonesia. Sumpah atau ikrar sejumlah pemuda inilah yang menjadi penyemangat bangsa demi cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Para pemuda di masa itu sadar bahwa pergerakan organisasi yang bersifat kedaerahan tidak pernah memberikan hasil berarti untuk kemerdekaan Indonesia karena pergerakan seperti itu sangat mudah dipatahkan oleh penjajah Belanda. Oleh sebab itulah organisasi-organisasi pemuda ini sepakat untuk melebur menjadi satu dan membuat pergerakan secara serentak untuk melawan penjajah. Dari kesepakatan inilah para pemuda ini sepakat untuk mengadakan kongres pemuda. Kongres ini bertujuan untuk menyatukan organisasi-organisasi yang pada saat itu terpecah belah. Kongres pemuda diadakan sebanyak dua kali, yakni Kongres Pemuda 1 yang berlangsung pada tanggal 30 April – 2 Mei 1926. Sedangkan Kongres Pemuda Kedua diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928.
Ada tiga rapat yang dihadiri oleh para pemuda di Kongres Pemuda Kedua ini, diantaranya :
Rapat pertama bertempat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), hari Sabtu, 27 Oktober 1928. Rapat dibuka oleh Ketua PPPI, Soegondo Djojopoespito. Dalam sambutannya, Soegondo mengatakan bahwa ia sangat mengharapkan kongres ini bisa memperkuat semangat persatuan yang ada di dalam hati para pemuda peserta kongres, dan seluruh Indonesia nantinya. Ia melanjutkan dengan menjelaskan lima factor yang bisa membuat persatuan Indonesia menjadi lebih kuat, yakni sejarah, Bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan yang kuat.
Rapat kedua bertempat di Gedung Oost-Java Bioscoop di tanggal 28 Oktober 1928. Rapat kedua ini banyak membahas seputar pendidikan. Di hari kedua ini yang jadi pembicara adalah Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Kedua pembicara ini memiliki pendapat bahwa anak-anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Selain itu mereka juga mengetengahkan pentingnya keseimbangan antara pendidikan sekolah dan di rumah.
Rapat ketiga, sekaligus menutup kongres mengambil tempat di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106. Di sini Sunario yang menjadi pembicara memberikan penjelasan akan pentingnya nasionalisme dan demokrasi mengiringi gerakan kepanduan. Ramelan yang ikut menjadi pembicara di rapat ketiga ini mengatakan bahwa gerakan kepanduan tidak boleh dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan yang ditanamkan sejak dini pada anak-anak bisa mendidik mereka untuk menjadi disiplin dan mandiri. Kedua hal tersebut sangatlah dibutuhkan dalam perjuangan menuju kemerdekaan.
1. Periode Demokrasi Liberal (1950 - 1959)
Masa Demokrasi Liberal berlangsung kurun waktu 1950-1959. Pada kurun waktu ini Indonesia menganut system pemerintahan parlementer. Sistem parlementer adalah system pemerintahan yang parlemennya memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Pada masa demokrasi Liberal sering disebut sebagai zaman pemerintahan partai-partai. Banyaknya partai dianggap sebagai salah satu kendala yang mengakibatkan kabinet atau pemerintahan tidak berusia panjang. Pada kurun waktu ini partai politik saling berebut pengaruh untuk memegang takpuk kekuasaan. Hal tersebut berdampak pada terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, maupun pertahanan keamanan. Sistem multi partai di Indonesia diawali dengan munculnya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 dengan tujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi. Dengan munculnya banyak partai baru kemudian system pemerintahan Indonesia diganti dari presidensial menjadi parlementer. Sistem parlementer diawali dengan munculnya kabinet Sjahrir dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menterinya.
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang ( umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Sistem kabinet parlementer menunjukkan adanya persaingan antarpartai politik untuk menduduki kursi terbanyak dalam parlemen. Pada masa Demokrasi Liberal telah terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali.
Berikut sejumlah kabinet Republik Indonesia yang Pernah berkuasa dari periode tahun 1950 hingga tahun 1959
- Kabinet Natsir (Masyumi) Periode 6 September 1950 - 21 Maret 1951
- Kabinet Sukiman (Masyumi) Periode 27 April 1951 - 3 April 1952
- Kabinet Wilopo (PNI) Periode 3 April 1952 - 3 Juni 1953
- Kabinet Ali Sastromijoyo (PNI) 31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955
- Kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi) 12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956
- Kabinet Ali Sastromijoyo II (PNI) 20 Maret 1956 - 4 Maret 1957
- Kabinet Djuanda Periode 9 April 1957 - 5 Juli 1959
2. Periode Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin.
Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.
Kehidupan Soekarno menyokong pemikiran Soekarno. Kemiskinan dalam kehidupan Soekarno melahirkan buah-buah pemikiran bijaksana yang berjalan sesuai dengan norma-norma masyarakat. Proses pendidikan Soekarno yang beriringan dengan tekanan kehidupannya membuat Soekarno berbeda dari peserta didik lainnya. Soekarno merupakan murid yang cerdas dan pandai dalam pendidikan. Kapasitas intelektual tersebut semakin hari semakin meningkat ketajamannya. kemudian pendidikannya dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) Surabaya, sebenarnya sekolah ini adalah sekolah yang sangat sulit dimasuki oleh para pribumi, namun karena Soekarno mampu membayar mahal, maka Soekarno pun masuk sekolah ini dan kemudian di sekolah ini Soekarno mengenal teori marxisme dari seorang gurunya, yaitu C. Hartough yang menganut paham sosial demokrat.
Demokrasi dalam pandangan Soekarno merupakan sistem yang paling ideal untuk memerintah Indonesia. Walaupun Soekarno menghendaki satu partai saja, Soekarno tetap memberikan perhatian terhadap masalah demokrasi. Namun perlu ditekankan lagi demokrasi yang Soekarno maksudkan bukanlah demokrasi Barat yang menurut Soekarno hanya menjamin hak rakyat pada persamaan bidang politik, sedangkan hak-hak untuk persamaan ekonomi sama sekali ditinggalkan. Soekarno menganggap demokrasi barat tidak cocok dengn Indonesia. Sehingga sikap antipatinya itu bukan asal sikap yang tidak menggunakan pertimbangan sama sekali.
Bentuk pemerintahan Indonesia Pada masa diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, menganut sistem demokrasi liberal. Demokrasi ini Merupakan sistem politik Secara tidak langsung kedaulatan rakyat disalurkan melalui partai-partai. Kebijakan multipartai yang tertancap di Indonesia mendapati sisi negatif. Sistem demokrasi liberal dan kabinet parlementer berakibat pada pemerintahan tidak stabil atau sering terjadi pergantian kabinet, pemerintah tidak sempat melaksanakan program kerjanya, sebab setiap kabinet hanya mempunyai masa kerja pendek dan kedudukan pemerintah tidak kuat karena sewaktu-waktu dapat dibubarkan apabila tidak mendapat persetujuan DPR. Terdapat empat partai besar yaitu Masyumi, PNI, NU dan PKI. Partai partai itulah mengirimkan wakil-wakil rakyat dalam DPR (parlemen), sehingga disebut dengan sistem kabinet parlementer.
Menurut Soekarno demokrasi terpimpin merupakan jalan keluar dari kegagalan demokrasi liberal sejak tahun 1950, terbukti bahwa demokrasi liberal ternyata tidak sesuai bagi kondisi di Indonesia sehingga tuntutan-tuntutan maupun dukungan untuk kembali ke UUD 1945 semakin meluas saat memasuki awal tahun 1959.
PNI dan PKI sepakat dengan gagasan Presiden Soekarno, ternyata dibalik sikap politik yang menyatakan dukungan akan dikeluarkan dekrit merupakan bentuk pertarungan ideologi bahwa inilah salah satu jalan untuk dapat menerobos kekerasannya pendirian partai-partai Islam dalam Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUDS 1950 menginginkan isi dari Pancasila digantikan dengan Piagam Jakarta serta dicantumkan dalam undang-undang dasar yang baru.
Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom.
Dalam usahanya mendapatkan dukungan yang luas untuk kampanye melawan Belanda di Irian Barat dan Inggris di Malaysia, ia menyatakan bahwa Indonesia berperan sebagai salah satu pimpinan “kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh” di dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Nekolim (neokolonialis, kolonialis dan imperialis). Sebagai lambang dari bangsa, Soekarno bermaksud menciptakan suatu kesadaran akan tujuan nasional yang akan mengatasi persaingan politik yang mengancam kelangsungan hidup sistem Demokrasi Terpimpin.
Presiden selalu mengungkapkan bahwa revolusi Indonesia memiliki lima gagasan penting. Pertama, Undang- Undang Dasar 1945; kedua, Sosialisme ala Indonesia; Ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin; dan yang terakhir kelima, Kepribadian Indonesia.
Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu maka muncullah singkatan USDEK. “Manifesto politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “Manipol-USDEK”.
Manipol-USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak masyarakat politik. Masyarakat politik ini, yang didominasi pegawai negeri, sudah lama mendukung apa yang selalu ditekankan presiden mengenai kegotong-royongan, menempatkan kepentingan nasional diatas kepentringan golongan dan kemungkinan mencapai mufakat melalui musyawarah yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada dua sebab mengenai hal ini pertama, keselarasan dan kesetiakawanan merupakan nilai yang dijunjung masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan kedua, bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa berat kehidupan yang mereka rasakan akibat keterpecah-belahan mereka dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, banyak yang tertarik kepada gagasan bahwa apa yang diperlukan Indonesia dewasa ini adalah orang-orang yang berpikiran benar, berjiwa benar dan patriot sejati. Bagi anggota beberapa komunitas Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan makna yang sesungguhnya dalam berbagai skema rumit yang disampaikan presiden itu ketika mengupas cara pandang secara panjang lebar Manipol-USDEK.
3. Periode Demokrasi di Era Orde Baru (1965-1998)
Setelah meletusnya peristiwa 1965, kondisi politik semakin kacau karena antara PKI maupun TNI saling tuduh tentang siapa yang berada di balik peristiwa Gerakan 30 September. Akan tetapi, karena semakin terdesak akhirnya kekuatan PKI berhasil dihancurkan. Namun demikian, gejolak politik ini menjadi pekerjaan rumah karena telah memorak-porandakan kehidupan politik secara global. Oleh karena itu, program utama yang diemban setelah lahirnya Orde Baru adalah stabilitas politik. Di depan sidang pleno DPR-GR pada 16 Agustus 1966, Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera memberikan keterangan tentang tanggung jawab Kabinet Ampera dalam hal penciptaan kodnsisi mental/psikologis bagi keperluan stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.
Hal yang paling awal dilakukan untuk mengatasi kondisi politik adalah pembubaran PKI dan pembersihannya di segala aspek. Di bidang politik luar negeri, pemulihan hubungan dengan Malaysia dilakukan dan Indonesia aktif kembali di PBB terhitung sejak 28 September 1966.
Setelah Soeharto mejabat sebagai presiden, pada 6 Juni 1968 diumumkan susunan Kabinet Pembangunan. Tugas pokok kabinet ini sebagaimana dalam Ketetapan MPRS No XLI/MPRS/1968 disebut sebagai Pancakrida. Rinciannya adalah sebagai berikut.
- Menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Pemilihan Umum;
- Menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun;
- Melaksanakan Pemilihan Umum selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971;
- Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI dan setiap rongrongan, penyelewengan, serta pengkhiatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat rendah.
Dalam kabinet yang pertama ini, Soeharto menerapkan sistem reformasi birokrasi. Reformasi dilakukan dengan menyederhanakan dan penggabungan departemen. Pada masa itu, hanya terdapat 5 menteri negara dan 18 manteri/pimpinan departemen yang duduk di dalam kabinet.
Sebagai tindak lanjut Pancakrida, pada 3 Maret 1969 dibentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ini bertugas
- Memulihkan keamanan dan ketertiban dalam hubungan dengan sebab akibat pemberontakan G30S/PKI serta kegiatan-kegiatan eksterm dan subversi lainnya; dan
- Mengamankan kewibawaan pemerintah dan alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah, untuk menjamin kelangsungan hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sepanjang periode Orde Baru, berhasil diselenggarakan pemilihan umum sebanyak enam kali. Pemilihan umum pertama dilakukan pada 1971. Selanjutnya pemilihan dilakukan secara rutin setiap lima tahun semenjak 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada pemilihan umum pertama tahun 1971, peserta sejumlah 10 partai politik/organisasi. Peserta ini merupakan yang terbanyak selama Orde Baru. Pemungutan suara dilaksanakan pada 3 Juli 1971. Pada pemilu ini, partai-partai politik mendapat 124 kursi di DPR dan Golongan Karya mendapat 261 kursi. Sementara itu, ABRI mendapat 75 kursi. Pada pemilu kali ini untuk pertama kalinya Golongan Karya berpartisipasi dan secara luar biasa berhasil keluar sebagai pemenang. Keluarnya Golongan Karya sebagai pemenang Pemilu disebabkan larangan bagi pegawai negeri untuk bergabung dalam partai politik sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 1969. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1970 dan Kepres Nomor 82 tahun 1971 yang melarang seluruh pegawai negeri termasuk ABRI terlibat dalam kegiatan partai, dan menuntut loyalitas tunggal terhadap pemerintah.
Dengan demikian, suara pegawai negeri tertampung di dalam Golongan Karya (Golkar) sebagai organisasi non-partai politik. Masyarakat desa diajak untuk apolitik dan tidak terikat secara ketat pada organisai-organisasi politik. Akibatnya, aspirasi politik mereka ditampung melalui organisasi profesi fungsional. Dalam konteks ini, Golkarlah yang kemudian mengambil peran karena lebih leluasa bergerak melalui Karakterdes (Kader Penggerak Teritorial Desa). Inilah yang membedakan Golkar dengan partai politik lain. Pembatasan gerak partai bertujuan untuk memudahkan tercapainya stabilitas politik yang menjadi prasyarat pembangunan pada masa Orde Baru.
Perolehan Suara pada Pemilu Orde Baru (%)
Hasil dari desain perpolitikan ini telah menjadikan Golkar selalu unggul dalam pemilihan umum sejak 1977-1997
4. Periode Demokrasi di Era Reformasi (1998-Sekarang)
Runtuhnya Orde Baru ditandai dengan adanya krisis kepercayaan yang direspon oleh kelompok penekan (pressure group) dengan mengadakan berbagai macam demonstrasi yang dipelopori oleh mahasiswa, pelajar, lembaga swadaya masyarakat, politisi, maupun masyarakat.
Runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru telah memberikan harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Masa peralihan demokrasi ini merupakan masa yang sangat rumit dan kritis karena pada masa ini akan ditentukan kearah mana demokrasi akan dibangun.
Langkah yang harus dilakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga bidang besar, yaitu:
- Reformasi konstitusional (constitutional reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik.
- Reformasi kelembagaan (institutional reform and empowerment), yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga politik
- Pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis. Masa demokrasi di Era Reformasi berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Demokrasi Indonesia telah dimulai dengan terbentuknya DPR-MPR hasil Pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil presiden serta terbentuknya lembaga-lembaga tinggi yang lain.
Masa Reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis antara lain dengan dikeluarkannya :
- Undang-Undang No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, memberikan ruang dan gerak lebih luas untuk mendirikan partai politik yang memungkinkan berkembangnya multipartai. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 Pasal 2 ayat1yang menyatakan "partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris"
- Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu memberikan kebebasan kepada warga negara untuk menggunakan hak pilihnya secara langsung untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota maupun DPD. Bahkan pemilihan presiden dan wakilnya juga dilaksanakan secara langsung.
- Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN
- Bertanggung jawab dibuktikan dengan keluarya ketetapan MPR No.IX/MPR/1998 dan ditindak lanjuti dengan UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya.
- Lembaga legislatif dan organisasi sosial politik sudah mempunyai keberanian untuk melakukan fungsi kontrol terhadap ekskutif, sehingga terjadi check and balance.
- Lembaga tertinggi negara MPR berani mengambil langkah-langkah politik dengan adanya sidang tahunan dan menuntut kepada pemerintah dan lembaga negara lain untuk menyampaikan laporan kemajuan (progress report).
- Adanya kebebasan media massa tanpa ada rasa takut untuk dicabut surat ijin penerbitannya.
- Adanya pembatasan masa jabatan presiden, yaitu jabatan presiden paling lama adalah 2 periode masa kepemimpinan.
- Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV.
( Dari berbagai sumber )